Radya Pustaka, adalah
suatu lembaga ilmu pengetahuan berwawasan kebangsaan yang didirikan bangsawan
Surakarta sebgai ajang pengembangan pengetahuan dan kebudayaan bangsa. Sampai
pada akhir abad ke-19, tepatnya pada masa pemerintahan Sri Susuhan Pakubuwono
IX Surakarta, di bumi Jawa dan kawasan Nusantara baru ada sebuah badan yang
mengurus masalah pengetahuan dan kebudayaan, yakni Bataviaasch Gennotschap yang didirikan oleh Belanda pada tahun
1778. Badan tersebut dikelola dan diperuntukan oleh dan bagi Belanda
semata-mata. Badan serupa yang dibangun dan diperuntukkan orang Jawa dan
Nusantara baru muncul pada akhir abad ke-19. Sejalan dengan besarnya minat dan
kepedulian para negarawan, bangsawan, dan budayawan terhadap pengetahuan dan
kebudayaan bangsa, pada hari Selasa Kliwon, tanggal 15 Mulud, Tahun Ehe 1820
atau tanggal 28 Oktober 1890, dengan ditandai sangkalan luhuring sembah mangesthi tunggal, di kota Surakarta
Adiningrat berdiri sebuah perkumpulan kebudayaan yang disebut Paheman Radya
Pustaka. Pendiri badan tersebut adalah Kanjeng Raden Arya Sosorodiningrat IV,
seorang negarawan dan budayawan Jawa. Paheman Radya Pustaka merupakan badan
kebudayaan (permuseuman) sejak 28 Oktober 1890, Radya Pustaka merupa tertua
karya bangsa Indonesia (Bratiswara, 2000:602).
Pada mulanya Paheman
Radya Pustaka berada di rumah jabatan pendirinya, yakni di Dalem Kepatihan
Surakarta yang dikenal Kepatihan Hendroprasta. Perpustakaan Radya Pustaka
menempati gedung Hantisana, sedangkan koleksi benda-benda budaya ditempatkan di
Pantiwibawa. Tujuan utama pendirian Paheman Radya Pustaka antara lain, (1)
untuk melestarikan seni budaya Jawa, (2) untuk mendidik bangsa agar dapat menjadi
bangsa yang berpengetahuan dan berjiwa kebangsaan. Sesuai dengan tujuannya,
keberadaan paheman yang bukan sebagai
milik perorangan, kelompok bangsawan, atau kelompok budayawan tersebut
dipandang salah satu kekayaan bangsa.
Sejak berdiri, Paheman
Radya Pustaka Surakarta bersifat mandiri dengan ditunjukkan pada hal-hal
berikut. (1) Paheman Radya Pustaka didirikan oleh perorangan, yakni Kanjeng
Hendro (Hendroprasta), Pepatih Keraton Surakarta, bukan atas nama Keraton atau
bukan atas perintah dari pemerintah Keraton Surakarta, (2) pengelolaan paheman semata-mata oleh perorangan yang
bergabung dalam perkumpulan Paheman Radya Pustaka, (3) pendukung (dana, sarana,
prasarana) untuk menjaga kelangsungan Paheman Radya Pustaka bukan Keraton
Surakarta, sekalipun demikian badan tersebut banyak menerima subsidi dan
bantuan lain-lain dari Keraton, misalnya bantuan tenaga pengelola ahli.
Sesuai dengan nama paheman, badan tersebut disiapkan
menjadi ajang ”olah budaya” Jawa melalui berbagai kegiatan, misalnya (1)
musyawarah tentang ilmu dan kesusastraan Jawa, diselenggarkan setiap hari Rabu,
(2) mengelola perpustakaan dan museum di balai Pantiwibawa Kepatihan, (3)
menerbitkan majalah Jawa yakni, Sasadara dan
Candrakanta, serta (4) menerbitkan
beberapa buku kesusastraan. Setelah 23 tahun lamanya menempati Dalem Kepatihan,
agar selanjutnya lebih memacu perkembangan selanjutnya, pada tanggal 22 Sura,
tahun Alip 1843 atau 1 Januari 1913, Paheman Radya Pustaka menempati gedung
baru (gedung sendiri) ialah Gedung Museum Radya Pustaka, berada di Jalan
Purwasari (dulu) atau Jalan Slamet Riyadi (sekarang) bersebelahan dengan Taman
Sriwedari Kebon Raya. Gedung baru tersebut sebelumnya merupakan Loji Kadipolo
milik seorang Belanda, Johannes Busselar, yang dibeli Sri Susuhan Pakubuwono X
dan diperuntukkan bagi Radya Pustaka agar dapat meneruskan fungsi dan darma
baktinya.
Museum Radya Pustaka setelah menempati gedung baru
tetap maju mandiri. Sekalipun demikian badan tersebut selain mendapat dukungan
dari para pakar dan budayawan juga mendapat perhatian dari kepedulian pihak
Keraton, misalnya (1) Keraton menyediakan tempat untuk ajang “olah budaya”,
yakni Gedung Museum Radya Pustaka sebelah timur Taman Sriwedari, (2) Keraton
menyediakan tenga ahli yang diperbantukan kepada Radya Pustaka, diantarannya
Raden Mas Suwito (RMT Ranggawarsita) dan Ki Padmosusastro (Ng.Wiropustoko).
Pengelolaan Museum
Radya Pustaka dilakukan secara mandiri, baik tenaga, prasarana, maupun
manajemennya. Keberhasilan pengembangannya tidak terlepas dari peran serta para
pendiri, pengeloa, dan pimpinannya. Para budaywan yang pernah berjasa mengetuai
Radya Pustaka secara berurutan adalah (1) Ketua Paheman Radya Pustaka pertama,
RT Djojodiningrat (1899-1905), (2) Ketua Paheman Radya Pustaka kedua, RT
Djojonagoro (1905-1914), (3) Ketua Paheman Radya Pustaka ketiga, RT
Woerjaningrat (1914-1926), (4) Ketua Paheman Radya Pustaka keempat, GPH
Hadiwidjojo (1926-wafatnya) (Bratiswara, 2000:603).
Dalam bidang
kepustakaan dan permuseuman Radya Pustaka mengkoleksi benda-benda budaya/sejarah
yang dikumpulkan dan berasal dari milik Keraton Surakarta, milik Keaptihan
Surakarta (Sosrodiningrat), milik GPH Hadiwidjojo, sumbangan dari para peminat
dan pecinta, serta milik Radya Pustaka (hasil pengadaan Radya Pustaka sendiri).
Berbagai benda budaya/sejarah yang dikoleksi Radya Pustaka secara garis besar
terdiri dari, patung pujangga R.Ng. Ranggawarsita, meriam, patung KRA
Sosrodiningrat IV, benda-benda peninggalan perbakala berupa bebatuan (batu
lesung, lumpang, dan sebagainya), arca-arca peninggalan zaman Hindu-budha (Arca
Ganesha, arca Syiwa, arca Bodhisatwa, arca Durga, arca Manjusri dan
sebagainya), koleksi wayang (wayang purwa, wayang wahyu, wayang krucil dan
sebagainya), koleksi keramik, koleksi senjata api, keloksi benda-benda perunggu
(arca), koleksi seperangkat gamelan, koleksi Canthik Kyai Rajamala, koleksi
buku tentang kebudayaan, koleksi keris dan lain-lain (Bratiswara, 2000:605).